Oleh :
Puro.Kluet
Amel masih
melek di balik selimut tebalnya itu. Malam selarut ini, dia masih saja susah untuk
memenjamkan matanya.
Dalam benak
gadis mungil itu menyelinap bayangan kebahagian. Bayangan itu akan nyata esok
hari. Esok hari, ayahnya akan mengajak Amel belanja kesebuah Supermarket yang
jauh di tengah kota.
Amel pernah
mendengar dari teman bermainnya.
“Supermarket itu,tempat belanja orang kaya.”
Kata Mila.
“Orang seperti kamu, tidak akan sangup membeli barang di
Supermarket itu”
sambung Mila menjelaskan. Mila sahabat
sekaligus tetangga Amel itu memang cerewet, maklumlah anak orang kaya yang
mencari ketenangan hidup di desa. Saat itu Amel paham, kalau ayahnya memang tak
sanggup mengajaknya belanja di Supermarket itu.
Sedangkan
Mila, anak saudagar kaya. Setiap hari keluar masuk Supermarket hanya untuk membeli susu bubuk kesukaan Mila.
Walau pun
Amel masih berusia sembilan tahun, dia tahu betul, kenapa ayahnya berani
mengajaknya belanja ke Supermarket itu besok. Amel tahu, kalau ayahnya baru
saja mendapat uang, uang hasil panen jagung.
“Kita belanja ke Supermarket besok, Nak.” Kata
ayahnya. Itulah sebabnya kenapa malam itu mata Amel susah terpejam di balik
selimut itu. Karena besok ia hendak belanja ke Supermarket. Tempat belanjanya
orang kaya.
Sesekali
senyumnya mengembang di balik selimut itu. Mungkin Amel tak sanggup
menanggungkan kebahagiaan luar biasa itu, tanpa ibu.
Saat moment
kebahagian itu hadir, Dia ingat pada ibunya yang entah dimana, senyumnya yang mengembang
di balik selimut itu, seketika berubah menjdi cemberut. Dua butir air, menyelinap di bawah pelupuk matanya yang tebal
itu.
Tanpa ibu,
ternyata kurang genap rasanya kebahagiaan ini, kata batinya mengeluh. Meskipun
besok dia dan ayahnya akan membeli baju lebaran
di Supermarket itu, tanpa ibu di sampingnya, tetap saja kebahagiaan itu
tersa tak sempurna bagi Amel.
***
Sebelum
matahari tampak nongol di ufuk Barat, Amel telah bangun dan mempersiapkan
sarapan pagi untuk ayahnya.
Sepotong kue
kering, dan segelas kopi hangat telah terhidang di atas meja tua yang lapuk
itu. KemudianAmel melangkah menuju beranda rumahnya. Dia membawa sebuah cermin
tua peninggalan ibunya.
Di atas sebuah
kursi berlengan terbuat dari rotan, ia duduk dan melihat-lihat wajahnya di
cermin tua persegi empat itu.
Rambut
panjangnya tampak basah. Matanya masih bulat bersih. Kulitnya sawomatang masih
seperti sedia kala. Dia harus tampil cantik pagi ini. Tampil layaknya orang
kaya yang belanja di Supermarket. Maklumlah Amel orang desa yang kesehariannya
hanya dapat melihat rumput dan sawah ladang di sekitar rumahnhnya.
“Amel sudah
siap?” tanya ayahnya dari balik pintu. “Sudah ayah.” Sahut Amel dengan senyum
mengembang sembari menganggukkan kepalanya. Amel belum puas, dia ingin tahu
kenapa beli baju kali ini mesti jauh ke kota besar. Sementara tidak berapa jauh
dari desanya ada juga orang jualan baju, terbesit dalam hatinya.
“Ayah! Kenapasih
kita harus belanja ke Supermarket?” tanya Amel. Gadis polos itu tidak tahu
samasekali , bahwa ayahnya merindukan ibunya. Ibunya bekerja di Supermarket itu
sebagai kasir.
Selama ini, ayahnya tak pernah bercerita tetang
ibunya. Setiap kali ia tanyakan pada ayahnya. Ayahnya hanya diam dan berkata, “Nanti
juga Amel akan tahu sendiri, kalau udah gede.” Kata ayahnya. Sejak itu Amel
malas menanyakan perihal ibunya itu.
Ayah dan ibu
Amel bercerai sejak Amel masih usia satu tahun setengah.
Bersambung..............................